Sabtu, 29 September 2012

INFEKSI TORCH


INFEKSI TORCH

Infeksi Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA. Hal ini berdasarkari struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi. Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di Amerika CMV merapakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5 - 2 % dari seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20 tahun atas morbiditas yang disebab-kan CMV perinatal menjelaskan bahwa dari 800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat sirnptomatis derigan kelainan retardasi mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin yang bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologic 1-3.
Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara horisontal, venikai, dari hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi melalui droplet infection dan kontak dengan air ludah dan air seni. Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses infeksi maternal ke janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi trans-plasenta selama kehamilan dan diperkirakan 0,5 % - 2,5 % dari populasi neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5 % 4,5,6.
Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali atas individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis ataupun asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari befbagai macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten 3,5,6.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi laten disertai multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang dikonsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan 3,5.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dirnungkinkan karena penyakit tertentn serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik. Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian, terjadi reaktivasi virus dari periode laten disertai ber-bagai sindroma 1,3,5.

Epidemiologi
Di negara-negara maju sitomegalovirus (CMV) adalah penyebab infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 - 2 % dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10 - 15 % bayi lahir yang terinfeksi secara kongenital adalah simptomaris yakni dengan manifestasi klinik akibat terserangya susunan saraf pusat dan berbagii organ lainnya (multiple organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20 - 30 % serta timbulnya cacat neurologik berat lebih dari 90 % pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan psikomotor, ikterus, peteckiae, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral 1,4.
Sebanyak 10 - 15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa gejala (asimptomatis) serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi ini akan memperoleh cacat neurologik seperti retardasi mental atau gangguan pendengaran dan penglihatan diperki­rakan 1—2 tahun kemudian. Dengan alasan ini sebenarnya infeksi CMV adalah pe­nyebab utama kerusakan sistem susunan saraf pusat pada anak-anak 1,2,4,7.

Infeksi CMV pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama kehamilan dan infeksi pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan kerusakan yang serius.      
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal eksogenus ataupun endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus yang sebelumnya dalam ke­adaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren (reinfeksi) 1,2,4.

Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan metode serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avi­dity, yaitu antibodi klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini le­bih dari 90 % kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap CMV 2,4,7,8.
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat ditegakkan dengan menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah ibu 2,4,8.

Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan kehamilan yang menunjuk­kan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20 minggu. Hal ini karena diperkirakan 70 % dari kasus menunjukkan janin tidak terinfeksi. Dengan demikian, diagnosis pranatal dapat mencegah terminasi kehamilan yang tidak perlu terhadap janin yang sebenarnya tidak terinfeksi sehingga kehamilan tersebut dapat berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan merupakan satu-satunya terapi intervensi karena pengobatan de­ngan antivirus (ganciclovir) tidak memberi hasil yang efektif dan memuaskan 3,4,8.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode PCR dan isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis. Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan 21-23 minggu karena tiga hal berikut 8.
·           Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum sempuma sebelum umur kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal mengekskresi virus sitomegalo meialui urin ke dalam cairan ketuban.
·           Dibutuhkan wakni 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi maternal agar virus dapat ditemukan daiarn cairan ketuban.
·           Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada umumnya bila infeksi maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.

Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis pranatal hasil amniosentesis febsh baik jika dibandingkan dengan kordosentesis. Demikian pula halnya biopsi vili korialis dikatakan ddak meningkatkan kemampuan mendiagnosis infeksi CMV intrauicrin. Kedua prosedur ini kordosentesis dan biopsi membawa risiko bagi janin, bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan 4,8.
Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dan perawatan antenatal sangat membantu dalam mengindentifikasi janin yang berisiko tinggi/diduga terinfeksi CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan infeksi CMV itrauterin bila didapat-kan hal-hal berikut ini pada janin. Oligohidramnion, polihidramnion, hidrops nonimun, asites janin, gangguan pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidro-sefalus), kalsifikasi intrakranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik 1,4,8.

Terapi dan Konseling
Tidak ada terapi. yang memuaskan dapat diterapkan, khususnya pada feksi kongenitai. Dengan demikian, dalam konseling infeksi primer yang umur kehamilan < 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis pranatal kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi diberikan guna infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada penderita dengan Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta tiridakan profilaksis untuk mencegah CMV setelah transplantasi organ. Obat yang digunakan untuk anti CMV wntuk ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir, tetapi sampai saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi. Pengembangan vaksin perlu dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi congenital 1,2,4,8.

ToksopSasmosls Kongenitai

Aspek Klinik dan Perilaku Biologik Toksoplasma Kongenitai
Transmisi toksoplasma kongenitai hanya terjadi bila infeksi toksoplasrna akut terjadi selama kehamikn. Bila infeksi akut dialami ibu selama kehamilan yang telah memiiiki antibodi antitoksopbsma karena sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah sebesar 4 - 7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila ibu tidak mempunyai antibodi spesifik 9,10.
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi maternal menyebabkan parasit dapat mencapai plasmta. Selama invasi dan menetap di plasenta parasit berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinva bahwa hasil isolasi positif dijaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak ada 11,12,.
Berdasarkan hasil perneriksaaan otopsi neonatus yang meninggal dengan toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa infeksi yang diperoleh janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta infeksi plasenta akibat toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin 10,12,14.
Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan hasil-hasil penelitian sebagai berikut.
·           Frekuensi infeksi toksoplasmosis kongenital sama dengan frekuensi infeksi plasenta.
·           Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat terjadinya infeksi maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama kehamilan 2,4,12.

Diagnosis Pranatal
Menyadari besarnya dampak loksoplasmosis kongenital pada janin, bayi, serta anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin pranatal pada ibu hamil, maka para klinisi/obstetrikus memperkenalkan metode baru yang merupakan koreksi atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis kongenital yang lampau. Konsep lama hanya bersifat empiris dan berpedoman pada hasil uji serologik ibu hamil. Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan amnioslntesis dengan panduan ultrasonografi guna memperoleh darah janin ataupun cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostik merupakan ciri para obstetrikus pada dekade 90-an 2,9,11. Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan spesifik dan rumit yang sifatnya biomolekular atas komponen janin tersebut (darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatil singkat dengan ketepatan yang tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya ini dikenal dengan diagnostik pra-natal 2,4,9.
Bahkan, diagnostik pranatal dipandang lebih efektif untuk menghindari atau menekan risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi primer pada ibu hamil berupa nasihat menghindari makanan/minuman yang kurang dimasak kurang berhasil. Oleh karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut sebagai prevensi sekunder.
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan 14-27 minggu (tri­mester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai berikut 2,4,9,11.
·           Kordosentesis (pengambiian sampel darah janin melalui tali pusat) ataupun amniosemesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan ultrasonografi.
·           Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur sel fibroblas, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti isolasi parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan dengan teknik P.C.R. guna mende-teksi D.N.A. T. gondii pada darah jariin atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik ELISA pada daral§jjanin guna: mendeteksj'antibodi IgM janin spesifik (anti-toksopiasma),
·           Pemeriksaan tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya rasio CD4 dan CDS. Daffos et al.(1988) mengembangkan tindakan diagnosis pranatal untuk toksoplasmosis kongenital de­ngan serial/berulang. Dikatakan prosedur ini retatif aman bila mulai dilakukan pada umur kehamian 19 minggu dan seterusnya.     
Diagnosis toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin; Ditemukan parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan D.N.A. dari T. gondii dengan P.C.R. darah janin atanpun cairan ketuban. ;
Beberapa faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya diagnostik pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut 2,4,9,11..
·           Didahului ofeh skrining serologik maternal/ibu hamil, hasilnya harus memenuhi kriteria tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4 syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
1.         antibodi IgM+
2.         Serokonversi dengan interval wakju 2 sampai 3 minggu, perubahan dari seronegatif menjadi seropositif IgM dan IgG.
3.         liter IgG yang tinggi ≥1/1024 (ELISA)
4.         Aviditas IgG 5 ≤200.
·           Keterampilan klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntunan ultrasonografi.
·           Kecermatan dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan khusus di laboratorium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan P.C.R..

Terapi dan Peaeegaban
Terapi diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut 9,10,11,13.
·           Kehamilan dengan infeksi akut
5.         Spiramisin
Spiramisin, suatu antibiotika macrolide dengan spektrum antibakteria; konsentrasi tertentu yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh organisme belum diketahui. Di, jaringan obat ini ditemukan kadar/konsemrasi yang tinggi terutama pada plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit sehingga menekan transmisi transplasental. Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2 -4 g/hari per oral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan aterm.
6.         Piremitamin                                                                           \
Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antirhalaria, terbukti juga sebagai pengo-batan radikal pada hewah eksperimental yang dikenakan infeksi toksorjlasmosis. Obat ini benahan lama dalam darah dengan waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek akumulatif pada jaringan, pemberian obat dianjur-kan setiap 3-4 hari. Piremitamin dan sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar-terhadap toksoplasma. Kedua obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme asam folat dan asam para aminobenzoat parasit karena menghambat kerja enzim dihidrofolat reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasit. Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.
Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan hipersensitivitas. Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual dan reversibel dengan akibat penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang menyebabkan tendensi perdarahan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemeriksaan sel darah tepi dan platelet 2 kali seminggu serta penggunaan asam folinik dalam bentuk kalsium leukovorin yang menghambat efek depresi sumsum tulang dari piremitamin. Bersama asam folinik ditambahkan pula ragi yang tidak akan merugikan pengobatan toksoplasmosis.
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer dan Kraubig menganjurkan pcmakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi piremitamin sulfadiazin, clan asam folinik sebagai penggunaan simultan diberikan selama 21 hari. Dosis piremitamin diberikan sebesar 1 mg/kg/hari secara oral untuk 3-4 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis serta asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuskular tiap minggu selama pemakaian piremitamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizoit, tetapi dapat menyebabkan kolitis ulseratif.
·           Toksoplasma kongenital2,4,9
Sulfadiazin dengan dosis 50 - 100 mg/kg/hari dan piremitamin 0,5 - 1 mg/kg diberi­kan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga injeksi intramuskular asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas, selulernya telah memadai untuk melawan penyakit pada masa tersebut.
·           Penderita imunodefisiensi2-4'9
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak diobati. Pengobatan di sini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu menggunakan piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik dalam jangka panjang. Piremitamin dan sulfa­diazin dapat melalui barier otak.

Profilaksis adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi yang berisiko sepeni ibu hamil dengan seronegatif.
Upaya tersebut adalah sebagai berikut12,15
·           Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang dimasak. Ookista mati dengan pemanasan 90° C selama 30 detik, 80° C untuk 1 menu dan 70° C untuk 2 menir. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber kontaminasi.
·           Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrining bulanan selama kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung sebagai hosper perantara yang meru­pakan binatang buruan kucing, adanya sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memlndahkan ookista dari tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista dari lapisan dalam ke permukaan tanah.

Walaupun makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T. gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing dapat rnengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu. Ookista menjadi, matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45° - 55° C, juga mati bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium. Transmisi melalui bentuk ookista menunjukkan infeksi T gondii pzdz orang yang tidak senang makan daging atau terjadi pada binatang herbivora12,15.
Untuk mencegah infeksi T gondii (terutama pada ibu hamil) harus dihindari makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan menelan ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing. Kista jaringan dalam daging tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66° C atau diasap. Setelah memegang daging mentah (jagal, tukang masak), sebaiknya tangan dicuci bersih dengan sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus di­cuci bersih atau dimasak. Kucing peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung15,16.
Pada prinsipnya penggunaaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada manusia. Akan tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap individu-individu imunodefisiesi, ibu hamil, dan meningkatnya kerugian ekonomis akibat toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan vaksin mulai dipikirkan. Aroujo (1994) melaksanakan ideuya dalam studi awal dengan model tikus untuk pengembangan vaksin.
Prinsipnya adalah menginduksi respons imun dalam usus karena infeksi dengan T. gxmdii utama terjadi pada kelenjar getah bening mesenterik. Di sini tidak digunakan adjuvan tetapi fungsinya diganti oleh immunostimulating complexes (ISCOMS), yaitu suatu formulasi proton dalam matriks yang terdiri atas lipid dan Quikl A (saponin yang dimurmikan). Kemudian ke dalamnya ditumpangkan membran antigen (P30 dan P22)2,4,9,16.

Rubela
Infeksi Rubela atau dikenal sebagai German measles menyerupai campak, hanya saja bercaknya sedikit lebih kasar. Infeksi Rubela pada trimester pertama memberikan dampak buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan (sindroma rubela kongenital). Kelainan bawaan yang banyak ialah defek pada jantung, katarak, retinitis, dan ketulian. Oleh karena itu, infeksi pada trimester pertama memberi pilihan untuk aborsi. Kepastian infeksi dinyatakan pada konversi dan IgM negatif menjadi positif dan meningkatnya IgG secara bermakna. Kadar IgM ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat.
Dengan upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus ini menjadi sangat jarang (1 : 1.000).

Herpes Simplex Virus
Pada suatu survei di India kejadian IgM pada kelompok pasien dengan riwayat obstetri buruk (lahir mati, kematian neonatal) ditemukan hanya 3,6 %17. Infeksi yang terjadi pada bayi reiatif jarang, berupa infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti bahwa jika ibu sudah mempunyai infeksi (vesikel yang nyeri pada vulva secara kronik), kemung­kinan infeksi pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam. Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan mempunyai risiko, sehingga dianjurkan persalinan dengan seksio sesarea.

Infeksi Lain
Yang dimaksud dengan kelompok infeksi lain (others) pada TORCH ialah: sifilis, hepatitis, virus Ebstein-Barr, hPV yang dibahas di bab lain.

Penapisan
Penapisan atau tes TORCH merupakan kontroversi, bergantung pada infeksi pada suatu daerah. Apabila ternyata infeksi pada bayi jarang, maka penapisan agaknya tidak layak dilakukan. Terlebih lagi pengobatan pada penyakit ini tidak memberi manfaat nyata.
IMUNISASI TT
  1. Pengertian
Imunisasi Tetanus Toksoid adalah proses untuk membangun kekebalan sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005).
Vaksin Tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan kemudian dimurnikan (Setiawan, 2006).
Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I s/d trismester III (Dinkes Jateng, 2005)
  1. Manfaat imunisasi TT ibu hamil
a. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neonatorum (BKKBN, 2005; Chin, 2000). Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani, yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistim saraf pusat (Saifuddin dkk, 2001).
b. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka (Depkes RI, 2000)
Kedua manfaat tersebut adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004)
  1. Jumlah dan dosis pemberian imunisasi TT untuk ibu hamil
Imunisasi TT untuk ibu hamil diberikan 2 kali (BKKBN, 2005; Saifuddin dkk, 2001), dengan dosis 0,5 cc di injeksikan intramuskuler/subkutan dalam (Depkes RI, 2000).
  1. Umur kehamilan mendapat imunisasi TT
Imunisasi TT sebaiknya diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi TT lengkap (BKKBN, 2005). TT1 dapat diberikan sejak di ketahui postif hamil dimana biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI, 2000)
  1. Jarak pemberian imunisasi TT1 dan TT2
Jarak pemberian (interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu (Saifuddin dkk, 2001; Depkes RI, 2000).
  1. Efek samping imunisasi TT
Biasanya hanya gejala-gejala ringan saja seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan (Depkes RI, 2000). TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita hamil. Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT (Saifuddin dkk, 2001).
Efek samping tersebut berlangsung 1-2 hari, ini akan sembuh sendiri dan tidak perlukan tindakan/pengobatan (Depkes RI, 2000).
  1. Tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT
a. Puskesmas
b. Puskesmas pembantu
c. Rumah sakit
d. Rumah bersalin
e. Polindes
f. Posyandu
g. Rumah sakit swasta
h. Dokter praktik, dan
i. Bidan praktik (Depkes RI, 2004).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar