INFEKSI TORCH
Infeksi Sitomegalovirus
Sitomegalovirus (CMV) termasuk golongan virus herpes DNA.
Hal ini berdasarkari struktur dan cara virus CMV pada saat melakukan replikasi.
Virus ini menyebabkan pembengkakan sel yang karakteristik sehingga terlihat sel
membesar (sitomegali) dan tampak sebagai gambaran mata burung hantu. Di Amerika
CMV merapakan penyebab utama infeksi perinatal (diperkirakan 0,5 - 2 % dari
seluruh bayi neonatal). Yow dan Demmler (1992) dalam pengamatannya selama 20
tahun atas morbiditas yang disebab-kan CMV perinatal menjelaskan bahwa dari
800.000 janin yang terinfeksi oleh CMV diperoleh 50.000 bersifat sirnptomatis
derigan kelainan retardasi mental, kebutaan, dan tuli sedangkan 120 ribu janin
yang bersifat asimptomatis mempunyai keluhan neurologic 1-3.
Penularan/transmisi CMV ini berlangsung secara
horisontal, venikai, dari hubungan seksual. Transmisi horisontal terjadi
melalui droplet infection dan kontak dengan air ludah dan air seni.
Sementara itu, transmisi vertikal adalah penularan proses infeksi maternal ke
janin. Infeksi CMV kongenital umumnya terjadi karena transmisi trans-plasenta
selama kehamilan dan diperkirakan 0,5 % - 2,5 % dari populasi neonatal. Di masa peripartum infeksi CMV timbul akibat pemaparan
terhadap sekresi serviks yang telah terinfeksi melalui air susu ibu dan
tindakan transfusi darah. Dengan cara ini prevalensi diperkirakan 3-5 % 4,5,6.
Patogenesis
Infeksi CMV yang terjadi karena pemaparan pertama kali
atas individu disebut infeksi primer. Infeksi primer berlangsung simptomatis
ataupun asimptomatis serta virus akan menetap dalam jaringan hospes dalam waktu
yang tidak terbatas. Selanjutnya virus masuk ke dalam sel-sel dari befbagai
macam jaringan. Proses ini disebut infeksi laten 3,5,6.
Pada keadaan tertentu eksaserbasi terjadi dari infeksi
laten disertai multiplikasi virus. Keadaan tersebut misalnya terjadi pada
individu yang mengalami supresi imun karena infeksi HIV, atau obat-obatan yang
dikonsumsi penderita transplan-resipien ataupun penderita dengan keganasan 3,5.
Infeksi rekuren (reaktivasi/reinfeksi) yang dirnungkinkan
karena penyakit tertentn serta keadaan supresi imun yang bersifat iatrogenik.
Dapat diterangkan bahwa kedua keadaan tersebut menekan respons sel limfosit T
sehingga timbul stimulasi antigenik yang kronis. Dengan demikian, terjadi
reaktivasi virus dari periode laten disertai ber-bagai sindroma 1,3,5.
Epidemiologi
Di negara-negara maju sitomegalovirus (CMV) adalah
penyebab infeksi kongenital yang paling utama dengan angka kejadian 0,3 - 2
% dari kelahiran hidup. Dilaporkan pula bahwa 10 - 15 % bayi lahir yang
terinfeksi secara kongenital adalah simptomaris yakni dengan manifestasi klinik
akibat terserangya susunan saraf pusat dan berbagii organ lainnya (multiple
organ). Hal ini menyebabkan kematian perinatal 20 - 30 % serta timbulnya
cacat neurologik berat lebih dari 90 % pada kelahiran. Manifestasi klinik dapat
berupa hepatosplenomegali, mikrosefali, retardasi mental, gangguan psikomotor,
ikterus, peteckiae, korioretinitis, dan kalsifikasi serebral 1,4.
Sebanyak 10 - 15 % bayi yang terinfeksi bersifat tanpa
gejala (asimptomatis) serta tampak normal pada waktu lahir. Kemungkinan bayi
ini akan memperoleh cacat neurologik seperti retardasi mental atau gangguan
pendengaran dan penglihatan diperkirakan 1—2 tahun kemudian. Dengan alasan ini
sebenarnya infeksi CMV adalah penyebab utama kerusakan sistem susunan saraf
pusat pada anak-anak 1,2,4,7.
Infeksi CMV pada Kehamilan
Transmisi CMV dari ibu ke janin dapat terjadi selama
kehamilan dan infeksi pada umur kehamilan kurang dari 16 minggu menyebabkan
kerusakan yang serius.
Infeksi CMV kongenital berasal dari infeksi maternal
eksogenus ataupun endogenus. Infeksi eksogenus dapat bersifat primer yaitu
terjadi pada ibu hamil dengan pola imunologik seronegatif dan nonprimer bila
ibu hamil dalam keadaan seropositif.
Infeksi endogenus adalah hasil suatu reaktivasi virus
yang sebelumnya dalam keadaan paten. Infeksi maternal primer akan memberikan
akibat klinik yang jauh lebih buruk pada janin dibandingkan infeksi rekuren
(reinfeksi) 1,2,4.
Diagnosis
Infeksi primer pada kehamilan dapat ditegakkan baik dengan
metode serologik maupun virologik. Dengan metode serologik, diagnosis infeksi
maternal primer dapat ditunjukkan dengan adanya perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif (tampak adanya IgM dan IgG anti CMV) sebagai hasil pemeriksaan
serial dengan interval kira-kira 3 minggu. Dalam metode serologik infeksi
primer dapat pula ditentukan dengan Low IgG Avidity, yaitu antibodi
klas IgG menunjukkan fungsional aviditasnya yang rendah serta berlangsung
selama kurang lebih 20 minggu setelah infeksi primer. Dalam hal ini lebih dari
90 % kasus infeksi primer menunjukkan IgG aviditas rendah (Low Avidity IgG) terhadap
CMV 2,4,7,8.
Dengan metode virologik, viremia maternal dapat
ditegakkan dengan menggunakan uji imuno fluoresen. Uji ini menggunakan
monoklonal antibodi yang mengikat antigen Pp 65, suatu protein (polipeptida
dengan berat molekul 65 kilo dalton) dari CMV di dalam sel leukosit dalam darah
ibu 2,4,8.
Diagnosis Pranatal
Diagnosis pranatal harus dikerjakan terhadap ibu dengan
kehamilan yang menunjukkan infeksi primer pada umur kehamilan sampai 20
minggu. Hal ini karena diperkirakan 70 % dari kasus menunjukkan janin tidak
terinfeksi. Dengan demikian, diagnosis pranatal dapat mencegah terminasi
kehamilan yang tidak perlu terhadap janin yang sebenarnya tidak terinfeksi
sehingga kehamilan tersebut dapat berlangsung. Saat ini terminasi kehamilan
merupakan satu-satunya terapi intervensi karena pengobatan dengan antivirus (ganciclovir)
tidak memberi hasil yang efektif dan memuaskan 3,4,8.
Diagnosis pranatal dilakukan dengan mengerjakan metode
PCR dan isolasi virus pada cairan ketuban yang diperoleh setelah amniosentesis.
Amniosentesis dalam hubungan ini paling baik dikerjakan pada umur kehamilan
21-23 minggu karena tiga hal berikut 8.
·
Mencegah hasil negatif palsu sebab diuresis janin belum
sempuma sebelum umur kehamilan 20 minggu sehingga janin belum optimal
mengekskresi virus sitomegalo meialui urin ke dalam cairan ketuban.
·
Dibutuhkan wakni 6-9 minggu setelah terjadinya infeksi
maternal agar virus dapat ditemukan daiarn cairan ketuban.
·
Infeksi janin yang berat karena transmisi CMV pada
umumnya bila infeksi maternal terjadi pada umur kehamilan 12 minggu.
Penelitian menunjukkan bahwa untuk diagnosis pranatal
hasil amniosentesis febsh baik jika dibandingkan dengan kordosentesis. Demikian
pula halnya biopsi vili korialis dikatakan ddak meningkatkan kemampuan
mendiagnosis infeksi CMV intrauicrin. Kedua prosedur ini kordosentesis dan
biopsi membawa risiko bagi janin, bahkan prosedur tersebut tidak dianjurkan 4,8.
Pemeriksaan ultra-sound yang merupakan bagian dan
perawatan antenatal sangat membantu dalam mengindentifikasi janin yang berisiko
tinggi/diduga terinfeksi CMV. Klinisi harus memikirkan adanya kemungkinan
infeksi CMV itrauterin bila didapat-kan hal-hal berikut ini pada janin.
Oligohidramnion, polihidramnion, hidrops nonimun, asites janin, gangguan
pertumbuhan janin, mikrosefali, ventrikulomegali serebral (hidro-sefalus),
kalsifikasi intrakranial, hepatosplenomegali, dan kalsifikasi intrahepatik 1,4,8.
Terapi dan Konseling
Tidak ada terapi. yang memuaskan dapat diterapkan,
khususnya pada feksi kongenitai. Dengan demikian, dalam konseling infeksi
primer yang umur kehamilan < 20 minggu setelah memperhatikan hasil diagnosis
pranatal kemungkinan dapat dipertimbangkan terminasi kehamilan. Terapi
diberikan guna infeksi CMV yang serius seperti retinitis, esofagitis pada
penderita dengan Immunodeficiency Syndrome (AIDS) serta tiridakan
profilaksis untuk mencegah CMV setelah transplantasi organ. Obat yang digunakan
untuk anti CMV wntuk ini adalah Ganciclovir, Foscarnet, Cidofivir dan Valacidovir,
tetapi sampai saat ini belum dilakukan evaluasi di samping obat tersebut
dapat menimbulkan intoksikasi serta resistensi. Pengembangan vaksin perlu
dilakukan guna mencegah morbiditas dan mortalitas akibat infeksi congenital 1,2,4,8.
ToksopSasmosls Kongenitai
Aspek Klinik dan Perilaku Biologik
Toksoplasma Kongenitai
Transmisi toksoplasma kongenitai hanya terjadi bila
infeksi toksoplasrna akut terjadi selama kehamikn. Bila infeksi akut dialami
ibu selama kehamilan yang telah memiiiki antibodi antitoksopbsma karena
sebelumnya telah terpapar, risiko bayi lahir memperoleh infeksi kongenital adalah
sebesar 4 - 7/1.000 ibu hamil. Risiko meningkat menjadi 50/1.000 ibu hamil bila
ibu tidak mempunyai antibodi spesifik 9,10.
Keadaan parasitemia yang ditimbulkan oleh infeksi
maternal menyebabkan parasit dapat mencapai plasmta. Selama invasi dan menetap
di plasenta parasit berkembang biak serta sebagian yang lain berhasil
memperoleh akses ke sirkulasi janin. Telah diketahui adanya korelasi antara
isolasi toksoplasma di jaringan plasenta dan infeksi neonatus, artinva bahwa
hasil isolasi positif dijaringan plasenta menunjukkan terjadinya infeksi pada
neonatus dan sebaliknya hasil isolasi negatif menegaskan infeksi neonatus tidak
ada 11,12,.
Berdasarkan hasil perneriksaaan otopsi neonatus yang
meninggal dengan toksoplasmosis kongenital ini disusun suatu konsep bahwa
infeksi yang diperoleh janin dalam uterus terjadi melalui aliran darah serta
infeksi plasenta akibat toksoplasmosis merupakan tahapan penting setelah fase
infeksi maternal dan sebelum terinfeksinya janin 10,12,14.
Selanjutnya konsepsi ini berkembang lebih jauh dengan
hasil-hasil penelitian sebagai berikut.
·
Frekuensi infeksi toksoplasmosis kongenital sama dengan
frekuensi infeksi plasenta.
·
Tiap-tiap kasus bergantung pada usia kehamilan saat
terjadinya infeksi maternal serta apakah ibu memperoleh pengobatan selama
kehamilan 2,4,12.
Diagnosis Pranatal
Menyadari besarnya dampak loksoplasmosis kongenital pada
janin, bayi, serta anak-anak disertai kebutuhan akan konfirmasi infeksi janin
pranatal pada ibu hamil, maka para klinisi/obstetrikus memperkenalkan metode
baru yang merupakan koreksi atas konsep dasar pengobatan toksoplasmosis
kongenital yang lampau. Konsep lama hanya bersifat empiris dan berpedoman pada
hasil uji serologik ibu hamil. Saat ini pemanfaatan tindakan kordosentesis dan
amnioslntesis dengan panduan ultrasonografi guna memperoleh darah janin ataupun
cairan ketuban sebagai pendekatan diagnostik merupakan ciri para obstetrikus
pada dekade 90-an 2,9,11. Selanjutnya segera dilakukan pemeriksaan
spesifik dan rumit yang sifatnya biomolekular atas komponen janin tersebut
(darah atau cairan ketuban) dalam waktu relatil singkat dengan ketepatan yang
tinggi. Hasilnya sangat menentukan untuk pengobatan selanjutnya. Upaya ini
dikenal dengan diagnostik pra-natal 2,4,9.
Bahkan, diagnostik pranatal dipandang lebih efektif untuk
menghindari atau menekan risiko toksoplasmosis kongenital karena upaya prevensi
primer pada ibu hamil berupa nasihat menghindari makanan/minuman yang kurang
dimasak kurang berhasil. Oleh karena itu, upaya diagnostik pranatal disebut
sebagai prevensi sekunder.
Diagnosis pranatal umumnya dilakukan pada usia kehamilan
14-27 minggu (trimester II). Aktivitas diagnosis pranatal meliputi sebagai
berikut 2,4,9,11.
·
Kordosentesis (pengambiian sampel darah janin melalui
tali pusat) ataupun amniosemesis (aspirasi cairan ketuban) dengan tuntunan
ultrasonografi.
·
Pembiakan darah janin ataupun cairan ketuban dalam kultur
sel fibroblas, ataupun diinokulasi ke dalam ruang peritoneum tikus diikuti
isolasi parasit, ditunjukkan untuk mendeteksi adanya parasit. Pemeriksaan
dengan teknik P.C.R. guna mende-teksi D.N.A. T. gondii pada darah jariin
atau cairan ketuban. Pemeriksaan dengan teknik
ELISA pada daral§jjanin guna: mendeteksj'antibodi IgM janin spesifik
(anti-toksopiasma),
·
Pemeriksaan
tambahan berupa penetapan enzim liver, platelet, leukosit (monosit dan eosinofil) dan limfosit khususnya
rasio CD4 dan CDS. Daffos et al.(1988) mengembangkan tindakan diagnosis
pranatal untuk toksoplasmosis kongenital dengan serial/berulang. Dikatakan
prosedur ini retatif aman bila mulai dilakukan pada umur kehamian 19 minggu dan
seterusnya.
Diagnosis
toksoplasma kongenital ditegakkan berdasarkan hasil pemeriksaan yang
menunjukkan adanya IgM janin spesifik (antitoksoplasma) dari darah janin;
Ditemukan parasit pada kultur ataupun inokulasi tikus dan D.N.A. dari T.
gondii dengan P.C.R. darah janin atanpun cairan ketuban. ;
Beberapa
faktor yang harus diperhatikan karena sangat menentukan agar upaya diagnostik
pranatal menjadi aman, terpercaya, dan efisien adalah sebagai berikut 2,4,9,11..
·
Didahului
ofeh skrining serologik maternal/ibu hamil, hasilnya harus memenuhi kriteria
tertentu sebelum dilanjutkan ke prosedur diagnostik pranatal. Jika satu dari 4
syarat di bawah ini terpenuhi, akan dilakukan kordosintesis atau amniosintesis.
1.
antibodi
IgM+
2.
Serokonversi
dengan interval wakju 2 sampai 3 minggu, perubahan dari seronegatif menjadi
seropositif IgM dan IgG.
3.
liter
IgG yang tinggi ≥1/1024 (ELISA)
4.
Aviditas
IgG 5 ≤200.
·
Keterampilan
klinisi melakukan kordosintesis atau amniosintesis dengan tuntunan
ultrasonografi.
·
Kecermatan
dan keterampilan yang terlatih dalam mengerjakan pekerjaan rumit dan khusus di
laboratorium di antaranya meliputi kultur, inokulasi, teknik ELISA, dan P.C.R..
Terapi dan Peaeegaban
Terapi
diberikan terhadap 3 kelompok penderita berikut 9,10,11,13.
·
Kehamilan
dengan infeksi akut
5.
Spiramisin
Spiramisin, suatu
antibiotika macrolide dengan spektrum antibakteria; konsentrasi tertentu
yang dibutuhkan untuk menghambat pertumbuhan ataupun membunuh organisme belum diketahui.
Di, jaringan obat ini ditemukan kadar/konsemrasi yang tinggi terutama pada
plasenta tanpa melewatinya serta aktif membunuh takizoit sehingga menekan
transmisi transplasental. Spiramisin pada orang dewasa diberikan 2 -4 g/hari per
oral dibagi dalam 4 dosis untuk 3 minggu, diulangi setelah 2 minggu sampai kehamilan
aterm.
6.
Piremitamin
\
Piremitamin, adalah fenilpirimidin obat antirhalaria,
terbukti juga sebagai pengo-batan radikal pada hewah eksperimental yang
dikenakan infeksi toksorjlasmosis. Obat ini benahan lama dalam darah dengan
waktu paruh plasma 100 jam (4-5 hari). Guna menghindari efek akumulatif pada
jaringan, pemberian obat dianjur-kan setiap 3-4 hari. Piremitamin dan
sulfadiazin bekerja sinergik menghasilkan khasiat 8 kali lebih besar-terhadap
toksoplasma. Kedua obat ini bekerja memblokir jalur metabolisme asam folat dan
asam para aminobenzoat parasit karena menghambat kerja enzim dihidrofolat
reduktase dengan akibat terganggunya pertumbuhan stadium takizoit parasit.
Kombinasi kedua obat ini mengakibatkan efek toksisitas yang tinggi.
Sulfadiazin menimbulkan reaksi hematuria dan
hipersensitivitas. Piremitamin menyebabkan depresi sumsum tulang secara gradual
dan reversibel dengan akibat penurunan platelet, leukopenia, dan anemia yang
menyebabkan tendensi perdarahan. Untuk mengantisipasi hal ini perlu pemeriksaan
sel darah tepi dan platelet 2 kali seminggu serta penggunaan asam folinik dalam
bentuk kalsium leukovorin yang menghambat efek depresi sumsum tulang dari
piremitamin. Bersama asam folinik ditambahkan pula ragi yang tidak akan
merugikan pengobatan toksoplasmosis.
Dilaporkan pula piremitamin bersifat teratogenik. Thalhammer
dan Kraubig menganjurkan pcmakaian obat ini dimulai trimester II setelah umur
kehamilan 14 minggu guna menghindari efek teratogenik pada janin. Kombinasi
piremitamin sulfadiazin, clan asam folinik sebagai penggunaan simultan
diberikan selama 21 hari. Dosis piremitamin diberikan sebesar 1 mg/kg/hari
secara oral untuk 3-4 hari. Sulfadiazin 50-100 mg/kg/hari/oral dibagi 2 dosis
serta asam folinik 2 kali 5 mg injeksi intramuskular tiap minggu selama pemakaian
piremitamin. Klindamisin cukup efektif terhadap takizoit, tetapi dapat
menyebabkan kolitis ulseratif.
·
Toksoplasma kongenital2,4,9
Sulfadiazin dengan dosis 50 - 100 mg/kg/hari dan piremitamin
0,5 - 1 mg/kg diberikan setiap 2-4 hari selama 20 hari. Disertakan juga
injeksi intramuskular asam folinik 5 mg setiap 2-4 hari untuk mengatasi efek
toksik piremitamin terhadap multiplikasi sel. Pengobatan dihentikan ketika anak
berumur 1 tahun karena diharapkan imunitas, selulernya telah memadai untuk
melawan penyakit pada masa tersebut.
·
Penderita imunodefisiensi2-4'9
Kondisi penderita akan cepat memburuk menjadi fatal bila tidak
diobati. Pengobatan di sini sama halnya dengan toksoplasmosis kongenital yaitu menggunakan
piremitamin, sulfadiazin, dan asam folinik dalam jangka panjang. Piremitamin
dan sulfadiazin dapat melalui barier otak.
Profilaksis
adalah tindakan yang paling efektif berupa perlindungan atas populasi yang
berisiko sepeni ibu hamil dengan seronegatif.
Upaya tersebut adalah sebagai berikut12,15
·
Dianjurkan memakan semua sayur-sayuran dan daging yang
dimasak. Ookista mati dengan pemanasan 90° C selama 30 detik, 80° C untuk 1
menu dan 70° C untuk 2 menir. Makanan yang dibekukan bukan merupakan sumber
kontaminasi.
·
Skrining serologik pramarital yang dilanjutkan skrining
bulanan selama kehamilan bagi ibu hamil dengan seronegatif.
Keadaan toksoplasmosis di suatu daerah dipengaruhi oleh banyak
faktor, seperti kebiasaan makan daging kurang matang, adanya kucing yang
terutama dipelihara sebagai binatang kesayangan, adanya tikus dan burung
sebagai hosper perantara yang merupakan binatang buruan kucing, adanya
sejumlah vektor seperti lipas atau lalat yang dapat memlndahkan ookista dari
tinja kucing ke makanan. Cacing tanah juga berperan untuk memindahkan ookista
dari lapisan dalam ke permukaan tanah.
Walaupun
makan daging kurang matang merupakan cara transmisi yang penting untuk T.
gondii, transmisi melalui ookista tidak dapat diabaikan. Seekor kucing
dapat rnengeluarkan sampai 10 juta butir ookista sehari selama 2 minggu.
Ookista menjadi, matang dalam waktu 1-5 hari dan dapat hidup lebih dari setahun
di tanah yang panas dan lembab. Ookista mati pada suhu 45° - 55° C, juga mati
bila dikeringkan atau bila bercampur formalin, amonia, atau larutan iodium.
Transmisi melalui bentuk ookista menunjukkan infeksi T gondii pzdz orang
yang tidak senang makan daging atau terjadi pada binatang herbivora12,15.
Untuk
mencegah infeksi T gondii (terutama pada ibu hamil) harus dihindari
makan daging kurang matang yang mungkin mengandung kista jaringan dan menelan
ookista matang yang terdapat dalam tinja kucing. Kista jaringan dalam daging
tidak infektif lagi bila sudah dipanaskan sampai 66° C atau diasap. Setelah
memegang daging mentah (jagal, tukang masak), sebaiknya tangan dicuci bersih
dengan sabun. Makanan harus ditutup rapat supaya tidak dijamah lalat atau
lipas. Sayur-mayur sebagai lalap harus dicuci bersih atau dimasak. Kucing
peliharaan sebaiknya diberi makanan matang dan dicegah berburu tikus dan burung15,16.
Pada
prinsipnya penggunaaan vaksin belum dimulai untuk toksoplasmosis pada manusia.
Akan tetapi, menyadari bahaya toksoplasma terhadap individu-individu
imunodefisiesi, ibu hamil, dan meningkatnya kerugian ekonomis akibat
toksoplasmosis pada hewan, maka pengembangan vaksin mulai dipikirkan. Aroujo
(1994) melaksanakan ideuya dalam studi awal dengan model tikus untuk pengembangan
vaksin.
Prinsipnya
adalah menginduksi respons imun dalam usus karena infeksi dengan T. gxmdii utama
terjadi pada kelenjar getah bening mesenterik. Di sini tidak digunakan adjuvan
tetapi fungsinya diganti oleh immunostimulating complexes (ISCOMS),
yaitu suatu formulasi proton dalam matriks yang terdiri atas lipid dan Quikl A
(saponin yang dimurmikan). Kemudian ke dalamnya ditumpangkan membran antigen
(P30 dan P22)2,4,9,16.
Rubela
Infeksi
Rubela atau dikenal sebagai German measles menyerupai campak, hanya saja
bercaknya sedikit lebih kasar. Infeksi Rubela pada trimester pertama memberikan
dampak buruk untuk kemungkinan besar terjadinya kelainan bawaan (sindroma
rubela kongenital). Kelainan bawaan yang banyak ialah defek pada jantung,
katarak, retinitis, dan ketulian. Oleh karena itu, infeksi pada trimester
pertama memberi pilihan untuk aborsi. Kepastian infeksi dinyatakan pada
konversi dan IgM negatif menjadi positif dan meningkatnya IgG secara bermakna.
Kadar IgM ini dapat pula dibuktikan dalam darah tali pusat.
Dengan
upaya vaksinasi pada remaja, prevalensi infeksi virus ini menjadi sangat jarang
(1 : 1.000).
Herpes Simplex Virus
Pada suatu survei di India kejadian IgM pada kelompok
pasien dengan riwayat obstetri buruk (lahir mati, kematian neonatal) ditemukan
hanya 3,6 %17. Infeksi yang terjadi pada bayi reiatif jarang, berupa
infeksi paru, mata, dan kulit. Kini terbukti bahwa jika ibu sudah mempunyai
infeksi (vesikel yang nyeri pada vulva secara kronik), kemungkinan infeksi
pada bayi hampir tidak terbukti, jadi diperbolehkan persalinan pervaginam.
Tetapi, sebaliknya infeksi yang baru terjadi pada kehamilan akan mempunyai
risiko, sehingga dianjurkan persalinan dengan seksio sesarea.
Infeksi Lain
Yang dimaksud dengan kelompok infeksi lain (others) pada
TORCH ialah: sifilis, hepatitis, virus Ebstein-Barr, hPV yang dibahas di bab
lain.
Penapisan
Penapisan atau tes TORCH merupakan kontroversi,
bergantung pada infeksi pada suatu daerah. Apabila ternyata infeksi pada bayi
jarang, maka penapisan agaknya tidak layak dilakukan. Terlebih lagi pengobatan
pada penyakit ini tidak memberi manfaat nyata.
IMUNISASI TT
- Pengertian
Imunisasi Tetanus Toksoid adalah proses untuk membangun kekebalan
sebagai upaya pencegahan terhadap infeksi tetanus (Idanati, 2005).
Vaksin Tetanus yaitu toksin kuman tetanus yang telah dilemahkan dan
kemudian dimurnikan (Setiawan, 2006).
Ibu hamil adalah ibu yang mengandung mulai trimester I s/d trismester
III (Dinkes Jateng, 2005)
- Manfaat imunisasi TT ibu hamil
a. Melindungi bayinya yang baru lahir dari tetanus neonatorum (BKKBN,
2005; Chin, 2000). Tetanus neonatorum adalah penyakit tetanus yang terjadi pada
neonatus (bayi berusia kurang 1 bulan) yang disebabkan oleh clostridium tetani,
yaitu kuman yang mengeluarkan toksin (racun) dan menyerang sistim saraf pusat
(Saifuddin dkk, 2001).
b. Melindungi ibu terhadap kemungkinan tetanus apabila terluka (Depkes RI,
2000)
Kedua manfaat tersebut
adalah cara untuk mencapai salah satu tujuan dari program imunisasi secara
nasional yaitu eliminasi tetanus maternal dan tetanus neonatorum (Depkes, 2004)
- Jumlah dan dosis pemberian imunisasi TT untuk ibu hamil
Imunisasi TT untuk ibu
hamil diberikan 2 kali (BKKBN, 2005; Saifuddin dkk, 2001), dengan dosis 0,5 cc
di injeksikan intramuskuler/subkutan dalam (Depkes RI,
2000).
- Umur kehamilan mendapat imunisasi TT
Imunisasi TT sebaiknya
diberikan sebelum kehamilan 8 bulan untuk mendapatkan imunisasi TT lengkap
(BKKBN, 2005). TT1 dapat diberikan sejak di ketahui postif hamil dimana
biasanya di berikan pada kunjungan pertama ibu hamil ke sarana kesehatan (Depkes RI,
2000)
- Jarak pemberian imunisasi TT1 dan TT2
Jarak pemberian
(interval) imunisasi TT1 dengan TT2 adalah minimal 4 minggu (Saifuddin dkk, 2001; Depkes RI,
2000).
- Efek samping imunisasi TT
Biasanya hanya gejala-gejala
ringan saja seperti nyeri, kemerahan dan pembengkakan pada tempat suntikan (Depkes RI,
2000). TT adalah antigen yang sangat aman dan juga aman untuk wanita hamil.
Tidak ada bahaya bagi janin apabila ibu hamil mendapatkan imunisasi TT (Saifuddin
dkk, 2001).
Efek samping tersebut
berlangsung 1-2 hari, ini akan sembuh sendiri dan tidak perlukan
tindakan/pengobatan (Depkes
RI, 2000).
- Tempat pelayanan untuk mendapatkan imunisasi TT
a. Puskesmas
b. Puskesmas pembantu
c. Rumah sakit
d. Rumah bersalin
e. Polindes
f. Posyandu
g. Rumah sakit swasta
h. Dokter praktik, dan
i. Bidan praktik (Depkes RI, 2004).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar